Praktik Penumpangan Tangan Hal. 2

Berlangganan Tulisan Terbaru dari Kloter 2000 by Email. Gratis !!! Klik Disini
Tuesday, March 8, 2011
bisnis paling gratis

Penumpangan tangan berarti pula sebagai tanda cinta persaudaraan kita kepada orang yang didoakan

Siapakah yang boleh?

Didalam Perjanjian Baru, penumpangan tangan dilakukan oleh Yesus (Mk 6 : 5; 8 : 23), kelompok 12 rasul ( Kis 6 : 6; 8 : 17 ), dan orang lainnya seperti Paulus (Kis 28 : 8) penatua Timoteus (1 Tim 4 : 14) dan orang - orang Kristen biasa (Mk 16 : 18; Kis 9 : 12, 17). Jadi, penumpangan tanga tidak terbatas hanya kelompok Yesus dan 12 rasul. Orang - Orang kristen biasa juga mempraktekkannya.

Menurut ajaran Gereja, dalam liturgi Sakramental (7 Sakramen) hanya kaum tertahbis saja (Uskup, Imam) yang boleh menumpangkan tangan, sesuai dengan rupliknya. Tetapi, dalam upacara non - sakramental, tak hanya kaum tertahbis, tetapi awam juga boleh menumpangkan tangan. Sebab, Sakramentali (doa berkat) boleh juga dilayani oleh awam (Sacrosanctum Concilium, art. 79, Kitab Hukum Kanonik, kan 1168).

Didalam  buku Liturgi Orang Sakit (thn. 1980), disebutkan pemimpin doa (awam) boleh mengulurkan tangannya ke atas si sakit. Dan di dalam buku Ibadat Berkat (thn. 1987), disebutkan petugas awam boleh mengulurkan tangan diatas atau ke arah orang atau barang yang dimohonkan berkat.

Penumpangan tangan di dalam doa pencurahan Roh merupakan tanda memohon berkat Allah dan sekaligus sebagai ungkapan cinta persaudaraan antara yang mendoakan  dengan yang didoakan.

Penumpangan tangan ini bukanlah transfer Roh Kudus, kuasa atau energi dari yang mendoakan kepada yang didoakan, seakan - akan kalau orang yang didoakan tumbang (Jatuh ke lantai) maka nyatalah kuasa Roh Kudus itu berkarya. Para Uskup Indonesia, tampaknya tidak berkeberatan jika awam menumpangkan tangan ke dalam doa pencurahan Roh, sejauh, penumpangan tangan itu dimengerti sebagai tanda doa mohon berkat Allah dan kasih kepada sesama (lihat: KWI, Aneka Karunia, Satu Roh, Jakarta : 1993, no. 14; KWI, Pembahuruan Hidup Kristiani Sebagai Karisma Roh. Jakarta; 1995, no. 31).

Beberapa saran Pastoral

Penumpangan tangan umumnya dilakukan dengan meletakkan tangan ke atas kepala orang yang sedang  didoakan, namun, ada juga orang yang tidak setuju, karena bertentangan dengan budaya tertentu. Jika ada penolakan atau dipandang tidak pantas menyentuh kepala seseorang, sebagai alternatif doa dapat dilakukan dengan meletakkan tangan pada bahu saja, yang tentunya dilakukan dengan hormat dan sopan. Ada kalanya, doa diiringin dengan meletakkan tangan di atas bagian tubuh yang sakit. Jika ini dilakukan, haruslah diperhatikan kesopanan, misalnya pria dengan pria, wanita dengan wanita, dan bagian tubuh mana saja yang boleh dipegang. Ini penting diperhatikan untuk menghindari pembicaraan yang tidak baik atau sandungan dalam pelayanan doa. Tak ada salahnya juga, bila perlu, doa dilakukan tanpa memegang bagian tubuh manapun.

Di dalam doa - doa non - liturgi, penumpangan tangan sebenarnya bukanlah unsur esensial.

Karena itu kita dapat berdoa dengan atau tanpa penumpangan tangan, Roh Kudus dapat tercurah ke atas seseorang tanpa lewat penumpangan tangan ( Kis 2 : 4; 4 : 31). Maka jika di tempat tertentu ada penolakan sebagian besar umat bila penumpangan tangan dilakukan oleh awam dan akan menimbulkan kebingungan dan perpecahan di dalam Gereja, sebaiknya praktik itu tidak dilakukan. Untuk sementara imam saja yang melakukannya, sampai umat setempat dapat menerimanya.

Jika penumpangan tangan oleh awam dipraktikkan di dalam doa pencurahan Roh, hendaklah diperhatikan lima hal berikut ini:

Pertama: Penumpangan tangan berarti tanda memohon berkat dari Allah, bukan tranfer kuasa Roh Kudus, kekuatan atau energi dari orang yang menumpangkan tangan kepada orang yang ditumpangi;

Kedua: Allah sendirilah yang memberikan karunia Roh Kudus, bukan orang yang menumpangkan tangannya; manusia hanyalah alat atau instrumen Allah saja.

Ketiga; hendaklah si pendoa tidak menumpangkan tangan kuat – kuat ke atas kepala orang yang sedang didoakan atau mendorong kepalanya dengan maksud agar orang yang didoakan itu jatuh ke lantai sebagai tanda kuasanya berjalan.

Keempat;
kita semua harus menghindarai hal - hal yang bersifat sensasional, artifisial, teatrikal dan mencari popularitas diri sendiri.

Kelima; Karisma si pendoa harus dilaksanakan demi kepentngan seluruh umat Allah dan bukan demi kepentingan diri sendiri (1 Kor 12 : 7; Lumen Gentium, art. 12). Sedangkan bagi orang yang didoakan, sangatlah perlu menghindari kesalahan serius dengan memfokuskan perhatian pada orang yang mendoakan, sekalipun orang itu memiliki karisma. Perhatian hendaknya pada Allah saja, sumber segala berkat.

Akhirnya, dari pengamatan kami, cukup banyak orang dimasyarakat dan Gereja kita mengartikan penumpangan tangan sebagai tranfer kuasa, kekuatan atau energi. Artinya ini bukanlah yang dimaksudkan Gereja. Karena itu, sebaiknya pimpinan umat menjelaskan lebih dahulu kepada umat arti penumpangan tangan menurut ajaran Gereja, yaitu sebagai ungkapan doa memohon berkat dari Allah dan sebagai tanda kasih kepada sesama, dan bukan sebagai tranfer power.

Oleh; Dr. Alex l. Suwandi Pr
Penulis adalah seorang imam di Keuskupan Padang, anggota pengurus Badan pelayanan Nasional Pembaharuan Karismatik Katolik Indonesia.

Redaksi majalah HIDUP membuka kesempatan seluas - luasnya kepada pembaca untuk mengajukan pertanyaan atau topik yang dikehendaki untuk dijawab atau dijelaskan Romo Handoko dalam rublik ini. Kirim SMS Anda : KETIK KOIM : ke nomor 0813 - 18544200 atau kirim melalui pos ke Redaksi HIDUP Jl. Kebon Jeruk Raya 85 Batusari, Jakarta 11530, Fax. 021 5485737 atau e-mail hidup@indo.net.id

Sumber: Majalah HIDUP.
dipublikasikan oleh: Kloter 2000

Silahkan Beri Komentar di kloter 2000 0 comments:

Post a Comment